Jejak Sejarah Pembangunan Benteng Somba Opu oleh Kerajaan Gowa
Friday, July 28, 2017
Edit
Jejak Jejak Pembangunan Benteng Somba Opu Kerajaan Gowa
Wisata Holik - Daeng Matanre Karaeng Tumaparisi Kallonna adalah Karaeng yang memangku jabatan Sombayya ri Gowa membangun sebuah pusat pemerintahan dan administrasi untuk kerajaan Gowa. Pembangunan ini dilakukan tahun 1545, sekaligus dibangun sebuah benteng pertahanan yang bertujuan untuk sistem pertahanan untuk kerajaan Gowa. Bangunan Benteng dibangun dari bahan Tanah Liat dan Putih telur yang berfungsi sebagai perekat pengganti semen.
Benteng Somba Opu di bangun berbentuk Persegi Empat dengan sisi terpanjang sekitar 2.000 meter. Area benteng meliputi wilayah administrasi Kerajaan seluas 1.500 Hetar Are. Untuk melindungi sisi dalam, benteng di bangun mencapai ketinggian 7 sampai 8 meter dengan ketebalan mencapai 5 meter. Benteng ini adalah salah satu pusat perdagangan paling besar di dunia pada abad ke 16. Pelabuhan yang berada dekat benteng di muara sungai Je'neberang menjadi pelabuhan paling ramai dari pedagang Asia dan Eropa untuk melakukan transaksi jual beli Rempah-rempah, sehingga benteng ini mejadi saksi dari kemajuan peradaban kerajaan Gowa-Tallo pada masa keemasannya.
Catatan sejarah menunjukkan, persekutuan antara kerajaan Gowa dan Tallo menghasilkan sebuah kerajaan kembar yang sangat maju. Kendati kekuasaan ada di tangan kerajaan Gowa, namun sistem pemerintahan yang dijalankan oleh kerajaan Tallo sangat maju dan membuat kerajaan kembar ini sangat sulit untuk ditaklukkan bahkan untuk pasukan modern dari kerajaan Belanda sekalipun.
Tumapa'risi Kallonna Daeng Matanre Karaeng Manguntungi, Sobayya maka Salapang atau raja Gowa IX (1510-1546), berinisiatif untuk menyatukan kerajaan Gowa dan Tallo untuk menghindari perang saudara ternyata membuat pertumbuhan kerajaan semakin cepat. Orientasi sektor kerajaan dari Agraria kemudian bergeser ke dunia Maritim dan perdagangan Internasional. Semakin ramainya pedagan yang datang dan melakukan transaksi di Benteng Somba Opu, membuat peningkatan sistem Administrasi menjadi suatu keharusan, sehingga banyak juru catat yang didatangkan dari pulau Sumatera dan suku-suku melayu untuk menjadi pegawai kerajaan.
I Manriigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng yang berkuasa tahaun 1546 sampai dengan 1565 yang tidka lain suksesor dari Tumapa'rissi Kallonna, menganggap kebijakan kerajaan sebagai bandar niaga kerajaan Tallo perlu melakukan ekspansi ke seluruh kerajaan-kerajaan kecil di sekitar pesisir yang memiliki potensi ekonomi. Kebijakan ini kemudian menghasilkan perintah kepada seluruh wilayah pesisir tunduk kepada kerajaan Gowa dan patuh kepada satu raja. Akibatnya hampir tidak ditemukan lagi bandar dan pelabuhan kecil di hampir seluruh wilayah kerajaan Gowa kecuali Bandar Niaga Tallo dan Bandar Niaga Somba Opu.
Kedua bandar niaga ini kemudian menjadi pusat perdangan dan pelabuhan komersial yang terletak di Sungai Tallo (Sungai Bira) dan Sungai Jeneberang. Kedua bandar ini kemudian disebut sebagai Bandar Makassar setelah Sultan Alauddin naik tahta. Jadilah kerajaan Gowa Tallo juga dikenal dengan kerajaan Makassar.
Kerajaan Kembar memiliki sistem Raja yang merupakan Sobayya ri Gowa sedangkan Mangkubumi atau kepala Pemerintahan berasal dari Tallo. Bandar Makassar pun kemudian berkembang menjadi bandar paling maju di Nusantara dengan komoditas utama yakni rempah-rempah tropis. Rempah-rempah Tropis pada abad ke 15 sampai dengan 18 adalah primadona perdagangan dunia, oleh karena sangat wajar jika banyak pedagang dunia yang datang ke Gowa. Pelaut dan perusahaan dagang besar seperti pedagang Portugis (1532), Belanda (1603), Inggris (1613), Spanyol (1615), Denmark (1618) dan China (1618) akhirnya datang ke Makassar.
Ramainya pedagang dari Luar Nusantara kemudian membuat Pemerintahan Kerajaan Gowa Tallo harus membangun sejumlah benteng pertahanan di sepanjang pesisir pantau mulai dari Paling Utara di Tallo sampai ke benteng paling Selatan di Barombong. Selain benteng, pihak Kerajaan juga membangun wilayah Pesisir dengan beberapa tembok yang berhadapan langsung dengan jejeran kapal-kapal dari berbagai kerajaan di Asia Tenggara, Eropa dan China. Sementara itu, kegiatan perdagangan dan transkasi dilakukan di dalam benteng. Rumah-rumah dagang dan penginapan bagi para pedagang juga di bangun di dalam benteng. William Wallace, seorang sejarawan Inggris mengatakan bahwa Benteng Somba Opu adalah salah satu benteng paling kuat di Nusantara dan menjadi saksi kegigihan Sultan Hasanuddin dalam mempertahankan kedaulatan Kerajaan Gowa Tallo dari gempuran Belanda.
Pernyataan Wallace ini bukan tanpa alasan, Struktur bangunan yang kokoh dari benteng Somba Opu terbuat dari Batu Merah dengan ketebalan Dinding mencapai 3,6 meter dengan ketinggian 7 sampai 8 meter. Ketebalan benteng dan sistem perekat dari Putih telur membuat benteng sangat sulit untuk ditembus dengan meriam (jagur) yang ada pada kapal perang standar dari Eropa pada masa tersebut.
Di dalam benteng ada tiga bastion yakni Bastion Barat Daya, Bastion Tengah dan Bastion Barat Laut kemudian Bulurawa Agung. Di tempat ini pernah ditempat kan sebuah meriam paling besar yang dimiliki Nusantara pada masa tersebut. Bobot meriam yang mencapai 9.500 kg dengan panjang 6 mete dan diameter 4,14 cm. Jika gambaran di atas dibandingkan gambaran fisik dari Benteng Somba Opu masa kini, tentu saja sangat jauh berbeda karena runtuhnya benteng Somba pada perang 1669 memang membuat seluruh bagian Benteng Hampir Rata dengan tanah begitu Belanda menguasai Benteng. Bentuk benteng pun belum diketahui secara persisi, tapi peta dan lukisan gambaran perang menunjukkan bentuk persegi. Tanggal 24 Juni 1669, Benteng berhasil di rebut oleh VOC dan banyak bagian dari Benteng yang dibiarkan terendam air pasang sampai hancur.
Benteng Somba Opu di bangun berbentuk Persegi Empat dengan sisi terpanjang sekitar 2.000 meter. Area benteng meliputi wilayah administrasi Kerajaan seluas 1.500 Hetar Are. Untuk melindungi sisi dalam, benteng di bangun mencapai ketinggian 7 sampai 8 meter dengan ketebalan mencapai 5 meter. Benteng ini adalah salah satu pusat perdagangan paling besar di dunia pada abad ke 16. Pelabuhan yang berada dekat benteng di muara sungai Je'neberang menjadi pelabuhan paling ramai dari pedagang Asia dan Eropa untuk melakukan transaksi jual beli Rempah-rempah, sehingga benteng ini mejadi saksi dari kemajuan peradaban kerajaan Gowa-Tallo pada masa keemasannya.
Catatan sejarah menunjukkan, persekutuan antara kerajaan Gowa dan Tallo menghasilkan sebuah kerajaan kembar yang sangat maju. Kendati kekuasaan ada di tangan kerajaan Gowa, namun sistem pemerintahan yang dijalankan oleh kerajaan Tallo sangat maju dan membuat kerajaan kembar ini sangat sulit untuk ditaklukkan bahkan untuk pasukan modern dari kerajaan Belanda sekalipun.
Lukisan Perang di Benteng Somba Opu 1669 |
Pembangunan Awal Benteng Somba Opu
Tumapa'risi Kallonna Daeng Matanre Karaeng Manguntungi, Sobayya maka Salapang atau raja Gowa IX (1510-1546), berinisiatif untuk menyatukan kerajaan Gowa dan Tallo untuk menghindari perang saudara ternyata membuat pertumbuhan kerajaan semakin cepat. Orientasi sektor kerajaan dari Agraria kemudian bergeser ke dunia Maritim dan perdagangan Internasional. Semakin ramainya pedagan yang datang dan melakukan transaksi di Benteng Somba Opu, membuat peningkatan sistem Administrasi menjadi suatu keharusan, sehingga banyak juru catat yang didatangkan dari pulau Sumatera dan suku-suku melayu untuk menjadi pegawai kerajaan.I Manriigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng yang berkuasa tahaun 1546 sampai dengan 1565 yang tidka lain suksesor dari Tumapa'rissi Kallonna, menganggap kebijakan kerajaan sebagai bandar niaga kerajaan Tallo perlu melakukan ekspansi ke seluruh kerajaan-kerajaan kecil di sekitar pesisir yang memiliki potensi ekonomi. Kebijakan ini kemudian menghasilkan perintah kepada seluruh wilayah pesisir tunduk kepada kerajaan Gowa dan patuh kepada satu raja. Akibatnya hampir tidak ditemukan lagi bandar dan pelabuhan kecil di hampir seluruh wilayah kerajaan Gowa kecuali Bandar Niaga Tallo dan Bandar Niaga Somba Opu.
Kedua bandar niaga ini kemudian menjadi pusat perdangan dan pelabuhan komersial yang terletak di Sungai Tallo (Sungai Bira) dan Sungai Jeneberang. Kedua bandar ini kemudian disebut sebagai Bandar Makassar setelah Sultan Alauddin naik tahta. Jadilah kerajaan Gowa Tallo juga dikenal dengan kerajaan Makassar.
Kerajaan Kembar memiliki sistem Raja yang merupakan Sobayya ri Gowa sedangkan Mangkubumi atau kepala Pemerintahan berasal dari Tallo. Bandar Makassar pun kemudian berkembang menjadi bandar paling maju di Nusantara dengan komoditas utama yakni rempah-rempah tropis. Rempah-rempah Tropis pada abad ke 15 sampai dengan 18 adalah primadona perdagangan dunia, oleh karena sangat wajar jika banyak pedagang dunia yang datang ke Gowa. Pelaut dan perusahaan dagang besar seperti pedagang Portugis (1532), Belanda (1603), Inggris (1613), Spanyol (1615), Denmark (1618) dan China (1618) akhirnya datang ke Makassar.
Ramainya pedagang dari Luar Nusantara kemudian membuat Pemerintahan Kerajaan Gowa Tallo harus membangun sejumlah benteng pertahanan di sepanjang pesisir pantau mulai dari Paling Utara di Tallo sampai ke benteng paling Selatan di Barombong. Selain benteng, pihak Kerajaan juga membangun wilayah Pesisir dengan beberapa tembok yang berhadapan langsung dengan jejeran kapal-kapal dari berbagai kerajaan di Asia Tenggara, Eropa dan China. Sementara itu, kegiatan perdagangan dan transkasi dilakukan di dalam benteng. Rumah-rumah dagang dan penginapan bagi para pedagang juga di bangun di dalam benteng. William Wallace, seorang sejarawan Inggris mengatakan bahwa Benteng Somba Opu adalah salah satu benteng paling kuat di Nusantara dan menjadi saksi kegigihan Sultan Hasanuddin dalam mempertahankan kedaulatan Kerajaan Gowa Tallo dari gempuran Belanda.
Puing Puing Benteng Somba |
Pernyataan Wallace ini bukan tanpa alasan, Struktur bangunan yang kokoh dari benteng Somba Opu terbuat dari Batu Merah dengan ketebalan Dinding mencapai 3,6 meter dengan ketinggian 7 sampai 8 meter. Ketebalan benteng dan sistem perekat dari Putih telur membuat benteng sangat sulit untuk ditembus dengan meriam (jagur) yang ada pada kapal perang standar dari Eropa pada masa tersebut.
Di dalam benteng ada tiga bastion yakni Bastion Barat Daya, Bastion Tengah dan Bastion Barat Laut kemudian Bulurawa Agung. Di tempat ini pernah ditempat kan sebuah meriam paling besar yang dimiliki Nusantara pada masa tersebut. Bobot meriam yang mencapai 9.500 kg dengan panjang 6 mete dan diameter 4,14 cm. Jika gambaran di atas dibandingkan gambaran fisik dari Benteng Somba Opu masa kini, tentu saja sangat jauh berbeda karena runtuhnya benteng Somba pada perang 1669 memang membuat seluruh bagian Benteng Hampir Rata dengan tanah begitu Belanda menguasai Benteng. Bentuk benteng pun belum diketahui secara persisi, tapi peta dan lukisan gambaran perang menunjukkan bentuk persegi. Tanggal 24 Juni 1669, Benteng berhasil di rebut oleh VOC dan banyak bagian dari Benteng yang dibiarkan terendam air pasang sampai hancur.